![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
Prosedur Berperkara | Layanan Informasi | Jadwal Sidang | SIPP | APM |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
SIWAS MA RI | e - Court | Sukamas | Pelita | Validasi Akta Cerai |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
siMUPLI | Pojok | Kotak Kemajuan | SIGOA-SKM | SIYANTIS |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
|
Cuti Tahunan | Izin Keluar Kantor | Apl Gugatan Mandiri | SURTI - SURVEI BADILAG |
Kewenangan Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri
Mahkamah Agung merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman dengan 4 badan peradilan dibawahnya, meliputi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara.[1] Masing-masing badan peradilan memiliki kewenangannya tersendiri sehingga tidak terjadi tumpang tindih.
Kewenangan pada Pengadilan Agama diatur dalam Pasal 49 Undang Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yaitu “Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: [2]
Sedangkan kewenangan pada pengadilan negeri terdapat dalam Undang Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, yaitu “Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata di tingkat pertama”.[3]
Kewenangan Dalam Memutus Perkara Pengangkatan Anak
Adanya perbedaan kewenangan antara Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri menyebabkan tidak mungkinnya terjadi tumpang tindih antara Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri. Namun, pada praktiknya permohonan pengangkatan anak dapat dilakukan di Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Agama
Pengadilan Agama berwenang untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pengangkatan anak, sebagaimana penjelasan dari Pasal 49 huruf a angka 20 Undang Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 7 tentang Peradilan Agama, yaitu:
“Yang dimaksud dengan “perkawinan” adalah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku yang dilakukan menurut syari’ah, antara lain:
Sedangkan Pengadilan Negeri juga berwenang untuk memutus terkait pengangkatan anak sebagaimana amanat pada Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 6 Tahun 1983 yang menyatakan bahwa untuk melakukan pengangkatan anak harus terlebih dahulu mengajukan permohonan pengesahan/pengangkatan kepada Pengadilan Negeri di tempat anak yang akan diangkat itu berada.
Perbedaan Pengangkatan Anak pada Pengadilan Agama dengan Pengadilan Negeri
Perbedaan pengangkatan anak pada Pengadilan Agama dengan Pengadilan Negeri terletak pada tujuan pengangkatan anak, apakah anak tersebut akan diangkat sebagai anak kandung ataupun hanya pemeliharaan anak.[4]
Pengadilan agama berwenang mengesahkan pengangkatan anak berdasarkan pada norma Islam dimana Islam tidak memperbolehkan mengangkat anak sebagai anak kandung, sebagaimana QS. Al Ahzab ayat 4:
مَّا جَعَلَ ٱللَّهُ لِرَجُلٍ مِّن قَلْبَيْنِ فِى جَوْفِهِۦ ۚ وَمَا جَعَلَ أَزْوَٰجَكُمُ ٱلَّٰٓـِٔى تُظَٰهِرُونَ مِنْهُنَّ أُمَّهَٰتِكُمْ ۚ وَمَا جَعَلَ أَدْعِيَآءَكُمْ أَبْنَآءَكُمْ ۚ ذَٰلِكُمْ قَوْلُكُم بِأَفْوَٰهِكُمْ ۖ وَٱللَّهُ يَقُولُ ٱلْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِى ٱلسَّبِيلَ
“Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar).”
Lebih lanjut pengangkatan anak berdasarkan hukum islam adalah beralihnya tanggung jawab pemeliharaan anak dari orang tua asal kepada orang tua angkat dalam pemberian nafkah, pendidikan, dan pelayanan segala kebutuhan. Selain itu pengangkatan anak dalam Pengadilan Agama mengakibatkan anak angkat tidak mendapat hak waris dari orang tua angkatnya.[5]
Lain halnya dengan pengangkatan anak yang diajukan pada pengadilan negeri. Permohonan anak angkat yang diajukan oleh Pemohon yang beragama Islam dilakukan dengan maksud untuk memperlakukan anak angkat tersebut sebagai anak kandung dan dapat mewaris, maka permohonan diajukan ke Pengadilan Negeri, sedangkan apabila dimaksudkan untuk dipelihara, maka permohonan diajukan ke Pengadilan Agama.[6]
[1] Pasal 18 Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
[2] Pasal 59 Undang Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 7 tentang Peradilan Agama
[3] Pasal 50 Undang Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum
[4] Kharisma Galu Gerhastuti, Kewenangan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama Dalam Pengangkatan Anak Yang Dilakukan Oleh Orang-Orang Yang Beragama Islam, Diponegoro Law Journal, Vol. 6, No. 2, 2017, Hlm. 10
[5] Ibid.
[6] Buku II Edisi 2007 tentang Badan Peradilan Umum terbitan Makhamah Agung RI Tahun 2009
Sistem negara berdiri bersamaan dengan berdirinya negara tersebut.[1] Demi membangun suatu sistem negara yang teratur, maka diperlukan hukum yang mencakup aturan-aturan hidup dan keseluruhannya berkaitan dengan satu sama lain.[2] Berdasarkan hal tersebut maka sistem negara berkaitan erat dengan sistem hukum. Di dunia sistem hukum terbagi menjadi dua yaitu sistem hukum eropa continental (civil law system) dan sistem hukum anglo saxon (common law system). Lantas apakah terdapat perbedaan peran hakim dalam civil law system dan common law system?
Pada civil law system mengutamakan kodifikasi. Hukum mempunyai kekuatan yang mengikat, karena diwujudkan dalam peraturan-peraturan tertulis berbentuk undang-undang dan peraturan tersebut disusun sistematis di dalam kodifikasi.[3] Menurut R. Soeroso kodifikasi hukum adalah pembukuan hukum dalam suatu himpunan undang undang dalam materi yang sama.[4] Sistem hukum ini mendapat banyak pengaruh dari Roman Law System.[5] Pada sistem hukum ini hakim tidak mempunyai kekuasaan yang luas untuk menciptakan hukum. Hal ini dikarenakan dalam memutus suatu perkara, fungsi utama hakim hanya untuk menetapkan dan menafsirkan peraturan-peraturan sesuai dengan batas-batas wewenangnya. Situasi tersebut menyebabkan hakim hanya mengikat terhadap para pihak yang berpekara saja (doktris Res Ajudicata).[6] Namun hakim dapat melakukan intepretasi terhadap suatu hukum tertulis sehingga mampu menciptakan hukum baru.[7] Hakim pada civil law system identik dengan apa yang John Henry Merryman jelaskan: “The judge becomes a kind of expert clerk. He is presented with a fact situation to which a ready legislative response will be readily found in all except the extraordinary case. His function merely to find the right legislative provision, couple it with the fact situation, and bless the solution that is more or less automatically produced from the union”.[8] Indonesia sendiri menganut civil law system. Hal ini terlihat dari adanya kodifikasi hukum seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD).
Berbeda dengan Common Law system yang mengutamakan yurisprudensi, atau putusan pengadilan yang preseden.[9] Dalam sistem hukum ini peranan hakim sangatlah luas karena hakim punya wewenang untuk menciptakan hukum baru.[10] Pengadilan menjalankan fungsi kontrol bagi cabang kekuasaan lain baik eksekutif maupun legislative. Beberapa peraturan yang dikeluarkan eksekutif dan legislative dapat diuji dan dinyatakan tidak berlaku oleh pengadilan.[11] Sistem hukum ini menganut doktrin yang dikenal dengan nama ”the doctrine of precedent / Stare Decisis”. Doktrin ini pada intinya menyatakan bahwa dalam memutuskan suatu perkara, seorang hakim harus mendasarkan putusannya pada prinsip hukum yang sudah ada dalam putusan hakim lain dari perkara sejenis sebelumnya (preseden).[12]
[1] Joeniarto, Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 2001), hlm. 5.
[2] SF, Marbun dkk, Dimensi-dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, (Yogyakarta: UII
Press, 2001), hlm.21
[3] Nandang Albian, Pengaruh Sistem Hukum Eropa Kontinental dan Sistem Hukum Islam terhadap Pembangunan SIstem Hukum Nasional, Jurnal Ahwal Al-Syakhsiyyah, Vol. 04 Edisi 01, 2019, hlm. 74.
[4] R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hlm 77
[5] Erick Christian Fabrian Siagan, Sejarah Sistem Hukum Eropa Kontinental (Civil Law) dan Implementasinya Di Indonesia, Jurnal Lex Specialis, Vol 1. No. 1, 2021, hlm 44.
[6] Dedi Soemardi, Pengantar Hukum Indonesia, (Jakarta: Indhillco, 1997), hlm 73.
[7] Hlm. 220
[8] John Henry Merryman, On The Convergence (And Divergence) Of The Civil Law And The Common Law”, Stan. J. Int’l., Vo. 17, 1981, hlm. 357.
[9] John Gilessen Dan Frits Gorle, Sejarah Hukum, (Bandung: Refika Aditama, 2005), hlm 348.
[10] Fajar Nurhardianto, Sistem Hukum Dan Posisi Hukum Indonesia, Jurnal TAPIs Vol.11 No.1 (Januari-Juni 2015), hlm 41.
[11] Robert Kagan, Adversarial Legalism: The American Way of Life, Harvard University Press, 2001, hlm. 3.
[12] Fajar Nurhardianto, Loc. Cit.