![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
Prosedur Berperkara | Layanan Informasi | Jadwal Sidang | SIPP | APM |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
SIWAS MA RI | e - Court | Sukamas | Pelita | Validasi Akta Cerai |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
siMUPLI | Pojok | Kotak Kemajuan | SIGOA-SKM | SIYANTIS |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
|
Cuti Tahunan | Izin Keluar Kantor | Apl Gugatan Mandiri | SURTI - SURVEI BADILAG |
Pembuktian ditujukan untuk membuktikan kejadian atas persitiwa hukum yang menjadi pokok persengketaan sesuai dengan yang didalilkan atau fundamentum petendi gugatan serta apa yang disangkal pihak lawan pada sisi lain.[1] Pengertian peristiwa hukum sendiri adalah “peristiwa yang oleh hukum diberi akibat hukum”.[2]
Hanya peristiwa yang relevan yang harus dibuktikan oleh para pihak. Namun tidak semua peristiwa relevan yang perlu dibuktikan, Terdapat beberapa peristiwa yang tidak perlu dibuktikan. Peristiwa tersebut sebagai berikut:
Bertitik tolak pada doktrin ius curia novit yaitu hakim dianggap tau akan hukum.[3] Hal tersebut menyebabkan hakim harus menerapkan hukum yang sesuai dengan kasus yang disengketakan.[4] Jalannya persidangan tidak boleh sedikitpun bertentangan dengan hukum yang berlaku. Hakim diwajibkan mencari dan menemukan hukum yang diterapkan dalam perkara. Sejalan dengan itu maka para pihak tidak dapat dituntut membuktikan kepada hakim tentang adanya peraturan perundang-undangan maupun yurisprudensi yang berlaku terhadap perkara yang dipersengketakan.[5]
notoir feiten atau fakta yang telah diketahui secara umum adalah fakta yang konkret dan mudah diketahui tanpa diperlukan penelitian dan pengkajian yang mendalam, kejadian atau keadaan yang timbul dapat diketahui bagi yang berpendidikan atau mengikuti perkembangan zaman.[6] Contoh notoir feite adalah pada Hari Minggu kantor pemerintahan tutup. Perlu diingat bukan merupakan suatu notoir feite apabila fakta tersebut kebetulan diketahui hakim secara pribadi.[7] Lebih lanjut dalam hal timbul perselisihan mengenai apakah suatu fakta diketahui umum atau tidak, maka peristiwa tersebut masih harus dibuktikan.[8]
Dalam hukum pembuktian terdapat asas actori incumbit probatio, actori onus probandi”, atau “siapa yang mendalilkan, dia harus membuktikan”. Hal tersebut menyebabkan fakta yang disangkal atau dilawan perlu dibuktikan oleh pihak lawan. Sejalan dengan hal tersebut tidak menyangkal atau membantah dianggap mengakui dalil atau fakta yang diajukan[9]
Fakta yang telah dilihat sendiri oleh hakim yang bersangkutan selama persidangan tidak perlu lagi dibuktikan.[10] Contoh Tergugat menyatakan pengakuan murni.
Contoh peristiwa ini adalah telah dilaksanakannya sumpah pemutus. Berdasarkan Pasal 1929 KUHPerdata, Pasal 155 HIR dinyatakan sebagai alat bukti yang memiliki kekuatan menentukan.
[1] Pitlo, Pembuktian dan Daluwarsa, Jakarta: Intermasa, 1986, Hlm. 8.
[2] Achmad Ali dan Wiwie Heryani, Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata, Jakarta: Prenada Media, 2012, Hlm. 33.
[3] Yuristyawan Pambudi Wicaksana, Implementasi Asas Ius Curia Novit Dalam Penafsiran Hukum Putusan Hakim Tentang Keabsahan Penetapan Tersangka, Jurnal Lex Renaissance, Vol 3 No 1 (Januari, 2018), Hlm. 89.
[4] M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, Hlm. 580.
[5] Pitlo, Op. Cit., Hlm. 16.
[6] M. Yahya Harahap, Hlm. 582.
[7] Ibid.
[8] Achmad Ali dan Wiwie Heryani, Op. Cit., Hlm. 39
[9] Pitlo, Op. Cit., 18
[10] Laila M. Rasyid dan Herinawati, Hukum Acara Perdata, Lhokseumawe: Unimal Press, 2015, Hlm. 74.
Pelaku Kekuasaan Kehakiman
Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.[1] Terdapat 2 (dua) pelaku kekuasaan kehakiman yang diatur dalam Undang Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”), yaitu Mahkamah Agung dan badan peradilan dibawahnya serta Mahkamah Konstitusi[2]. Lebih lanjut kekuasaan kehakiman diatur dalam Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Wewenang Judicial Review
UUD 1945 mengatur mengenai wewenang Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi pada Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, yaitu:
Pasal 24A
“(1) Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.”
Pasal 24C
“(1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.”
Pada kedua Pasal tersebut dapat disimpulkan baik Mahkamah Agung maupun Mahkamah Konstitusi memiliki wewenang untuk melakukan judicial review. Perbedaannya terletak dalam lingkupnya[3]. Mahkamah Agung berwenang untuk menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, sedangkan Mahkamah Konstitusi berwenang untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar.
Wewenang judicial review yang dimiliki oleh kedua lembaga tersebut menyebabkan adanya kemungkinan terjadinya persinggungan wewenang antara Mahkamah Agung dengan Mahkamah Konstitusi. Contohnya apabila terdapat judicial review Peraturan Pemerintah terhadap Undang Undang kepada Mahkamah Agung, namun terdapat pula pengajuan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi atas Undang Undang yang menjadi dasar judicial review Mahkamah Agung. Kebetulan juga Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi memutus serentak. Pada putusannya Mahkamah Agung memutus Peraturan Pemerintah tersebut tidak bertentangan dengan Undang Undang, namun Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Undang Undang tersebut bertentangan dengan UUD 1945.[4] Lebih lanjut, mungkinkah hal tersebut terjadi?
Pasal 55 Undang Undang tentang Mahkamah Konstitusi jo. Putusan MK Nomor 93/PUU-XV/2017
Pada Pasal 55 Undang Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi mengatur apabila undang-undang yang menjadi dasar pengujian peraturan perundang-undangan pada Mahkamah Agung dalam proses pengujian Mahkamah Konstitusi, yaitu:
“pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang sedang dilakukan Mahkamah Agung wajib dihentikan apabila undang-undang yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut sedang dalam proses pengujian Mahkamah Konstitusi sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi.”
Terhadap Pasal 55 tersebut telah diajukan permohonan uji materiil kepada MK yang diputus dalam Putusan MK Nomor 93/PUU-XV/2017. Lebih lanjut, amar dari putusan tersebut adalah:
“Pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang sedang dilakukan Mahkamah Agung ditunda pemeriksaanya apabila undang-undang yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut sedang dalam proses pengujian Mahkamah Konstitusi sampai ada Putusan MK”
Frasa “dihentikan” menjadi “ditunda pemeriksaannya” dimaknakan materi judicial review ditunda atau dihentikan sementara pada Mahkamah Agung sampai adanya putusan Mahkamah Konstitusi. Hal tersebut bertujuan untuk meminimalisir adanya persinggungan antara Mahkamah Agung dengan Mahkamah Konstitusi. Selain itu para pihak tetap dapat mengajukan pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang ke Mahkamah Agung tanpa perlu menunggu adanya putusan Mahkamah Konstitusi.[5]
Berdasarkan amanat Pasal 55 Undang Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi jo. Putusan MK Nomor 93/PUU-XV/2017, maka tidak mungkin adanya pertentangan antara putusan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian undang-undang dengan putusan Mahkamah Agung dalam pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang, dikarenakan:
[1] Pasal 1 angka 1 Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
[2] Pasal 24 ayat (2) Undang Undang Dasar 1945
[3] Erizka Permatasari, “Bedanya Judicial Review dengan Hak Uji Materiil”, Desember 20, 2021, https://www.hukumonline.com/klinik/a/bedanya-ijudicial-review-i-dengan-hak-uji-materiil-cl4257
[4] Saldi Isra, “Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka dan Bertanggung Jawab di Mahkamah Agung”, Mei 09, 2010, https://www.saldiisra.web.id/index.php/buku-jurnal/jurnal/19-jurnalnasional/180-kekuasaan-kehakiman-yang-merdeka-dan-bertanggung-jawab-di-mahkamah-agung.html
[5] Putusan MK Nomor 93/PUU-XV/2017