![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
Prosedur Berperkara | Layanan Informasi | Jadwal Sidang | SIPP | APM |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
SIWAS MA RI | e - Court | Sukamas | Pelita | Validasi Akta Cerai |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
siMUPLI | Pojok | Kotak Kemajuan | SIGOA-SKM | SIYANTIS |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
|
Cuti Tahunan | Izin Keluar Kantor | Apl Gugatan Mandiri | SURTI - SURVEI BADILAG |
Bismillahirrahmanirrahim
Sering kali beredar di kalangan masyarakat bahwa banyak kalangan anak-anak tidak menghormati orang tua, seperti melawan, berkata kasar bahkan melakukan serangan fisik. Hal ini sangat disayangkan sekali dimana pelaku merupakan siswa, tak jarang pula kita menemui adanya kasus perundukan (bullying), tawuran antar pelajar dan penggunaan obat-obat terlarang.
Semua hal yang berkaitan diatas tidak lepas dari peran kita sebagai orang tua untuk mendidikan anak-anak di lingkungan tempat tinggal, sekolah maupun di dilingkungan masyarakat. Para orang tua harus berani tegas dan mengambil sikap untuk memberi arahan dan tak segan segan memberi hukuman sebagai efek jera.
Hendaklah anak juga diperkenalkan haramnya zina (pacaran) dan liwath (penyuka sesama jenis), juga menerangkan mengenai haramnya mencuri, meminum khamr (minuman keras), haramnya judi berbasis game online, dusta, ghibah dan maksiat lainnya. Perintah untuk mendidik anak berdasarkan ayat Al-Qur’an,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (QS. At Tahrim: 6).[1]
Mendidik anak-anak dapat dimulai dari mengajarkan agama sejak dini, terkhusus untuk melaksanakan shalat, sebagaimana hadist Rasulullah ﷺ
مُـرُوْا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّـلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِيْنَ، وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا، وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ، وَفَرِّقُوْا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ
“Suruhlah anak kalian shalat ketika berumur 7 tahun, dan kalau sudah berusia 10 tahun meninggal-kan shalat, maka pukullah ia. Dan pisahkanlah tempat tidurnya (antara anak laki-laki dan anak wanita)” Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 495.[2]
Mendidik agama sejak dini dapat menumbuhkan rasa cinta kepada Allah azza wa jalla, Rasulullah ﷺ, menghormati orang tua, kasih sayang kepada sesama dan selalu melakukan kebajikan.
Namun hendaknya kita mencerminkan sikap saling menghormati dan santun kepada orang yang lebih tua meski jabatan kita lebih tinggi serta saling menyayangi kepada mereka yang usia nya jauh lebih muda sesuai hadist Rasulullah ﷺ
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يُجِلَّ كَبِيْرَنَا وَيَرْحَمْ صَغِيْرَنَا وَيَعْرِف لِعَالِمِنَا حَقَّهُ
“Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati yang tua dan tidak menyayangi yang muda dari kami serta tidak mengenal hak orang alim dari kami”. Shahih al-Jami’, hadits no. 5443.[3]
Dan perintah berbuat baik, sebagaimana telah dijelaskan pada Al-Qur’an :
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu.” (QS. An-Nisa’: 36).[4]
Sikap saling menghormati, tidak merendahkan orang lain, dan tidak merasa lebih baik dari orang lain dilingkungan kerja dapat membentuk karakter kita menjadi sopan sehingga anak-anak dapat mencontoh sikap yang baik dan akhlak yang In Syaa Allah mulia.
Maka dengan demikian, melalui sikap hormat kita kepada orang-orang yang usia nya jauh lebih tua dan merupakan bawahan kita, serta pendidikan agama anak sejak dini dapat membentuk karakter dan mempengaruhi anak- anak untuk menghormati orang yang lebih tua. Tetaplah rendah hati. (TUTIK HARTATIK)
[1]Muhammad Abduh Tuasikal, MSc, “Pendidikan Agama Sejak Dini” Rumaysho, Desember 11, 2013 https://rumaysho.com/4959-pendidikan-agama-sejak-dini.html
[2] Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas “Kewajiban Mendidik Anak”, almanhaj, https://almanhaj.or.id/1048-kewajiban-mendidik-anak.html
[3] Mahmud Muhammad al-Khazandar “Menghormati Orang Lain”, almanhaj, https://almanhaj.or.id/57311-menghormati-orang-lain.html
[4]Muhammad Abduh Tuasikal, MSc, “Hadits Arbain #15: Berkata yang Baik, Memuliakan Tamu dan Tetangga” Rumaysho, November 10, 2018 https://rumaysho.com/18958-hadits-arbain-15-berkata-yang-baik-memuliakan-tamu-dan-tetangga.html
Bismillahirrahmanirrahim
Lembaga peradilan merupakan salah satu pondasi utama dalam menegakkan keadilan bagi masyarakat. Terwujudnya penegakkan keadilan tersebut tidak hanya dilihat dari putusan yang dijatuhkan, namun juga dilihat sejak tahap awal proses penanganan perkara yang harus sesuai dengan ketentuan hukum acara.[1]
Proses beracara di pengadilan harus selalu mengedepankan prinsip fair trial atau peradilan yang berimbang. Maksud dari fair trial adalah para pihak yang berpekara harus didengarkan oleh hakim secara berimbang dan tidak ada keberpihakan dalam sikap, tutur kata, maupun perlakuan dalam persidangan kepada salah satu pihak.[2] Tujuan utamanya, untuk menjamin proses peradilan terhindar dari perbuatan tercela (misbehavior) dari aparat pengadilan.
Hakim dalam memeriksa suatu perkara harus mendengarkan kedua belah pihak (audi et alteram partem). Namun peraturan perundang-undangan memberikan antisipasi dalam hal keadaan Tergugat telah dipanggil secara patut tidak datang menghadiri sidang pertama tanpa alasan yang sah. Pada perkara tersebut hakim secara ex officio dapat memutus secara verstek tanpa dibuktikan terlebih dahulu.[3] Lebih lanjut verstek diatur dalam Pasal 125-129 HIR dan Pasal 149- 153 RBg. Tujuan dari acara verstek adalah menghindari iktikad buruk dari Tergugat yang tidak hadir untuk menghambat pemeriksaan dan penyelesaian perkara.[4]
Hakim harus hati-hati dalam menjatuhkan putusan verstek, sebab dalam pemeriksaan perkara banyak aspek yang harus dipertimbangkan, rumit dan sangat kompleks. Berdasarkan Pasal 126 ayat (1) HIR dengan pertimbangan prinsip fair trial sesuai dengan audi et alteram partem, jika Tergugat tidak hadir memenuhi pemeriksaan sidang pertama maka kurang layak langsung menghukumnya dengan putusan verstek. Hakim harus memberikan kesempatan lagi kepada Tergugat untuk hadir di persidangan dengan memundurkan waktu pemeriksaan.[5] Penerapan tersebut bertujuan memberi kesadaran dan kesempatan yang wajar kepada Tergugat untuk membela dan kepentingannya dalam pemeriksaan persidangan yang dihadirinya atau kuasannya.[6]
Boleh tidaknya dijatuhkan verstek berkaitan dengan Pemanggilan kepada Tergugat yang harus dilaksanakan secara sah dan patut. Sebab hal itu dapat mewujudkan pelaksanaan fair trial dan adanya putusan pengadilan yang tidak hanya baik secara yuridis, tetapi juga secara moral serta sosial.[7] Pemanggilan tersebut memperhatikan beberapa hal, sebagai berikut:[8]
A. Apabila ahli waris dikenal, panggilan ditujukan kepada semua ahli waris tanpa menyebut identitas mereka satu per satu
dan panggilan disampaikan di tempat tinggal almarhum pewaris.
B. Apabila ahli waris tidak dikenal, panggilan disampaikan melalui kepala desa di tempat tinggal terakhir almarhum pewaris
4. Jarak pemanggilan dengan hari sidang berpedoman kepada Pasal 122 HIR atau Pasal 10 Rv, yaitu:
1. 8 hari apabila jaraknya tidak jauh.
2. 14 hari apabila jaraknya agak jauh.
3. 20 hari apabila jaraknya jauh.
Oleh karena itu prinsip fair trial harus selalu diterapkan dalam beracara di pengadilan, salah satunya dalam memutuskan verstek. Hal tersebut diwujudkan dengan apabila Tergugat tidak hadir dalam sidang pertama hakim tidak langsung memutus verstek melainkan menunda sidang dan memerintahkan juru sita untuk melakukan pemanggilan kembali kepada Tergugat secara sah dan patut. Diputusnya suatu perkara dengan putusan verzet tidak menutup perlawanan yang dapat diajukan oleh Tergugat. Berdasarkan Pasal 129 ayat (1) HIR terdapat upaya hukum terhadap putusan verstek, yaitu Tergugat dapat mengajukan verzet. (Utami Puspaningsih)
[1] M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hlm. v.
[2] M. Natsir Asnawi, Hukum Acara Perdata, Yogyakarta: UII Press, 2016, hlm. 1.
[3] Darmawati dan Asriadi Zainuddin, Penerapan Keputusan Verstek Di Pengadilan Agama, Jurnal Al-Mizan, Vol 11 No 1 (Juni, 2015), hlm. 90.
[4] M. Yahya Harahap, Op.Cit., hlm. 444.
[5] Ibid., hlm. 450.
[6] Ibid., hlm. 389.
[7] Bustanul Arifien Rusydi, Problem Kehadiran Dan Upaya Hukum Tergugat Dalam Putusan Verstek Perkara Perceraian Pada Pengadilan Agama Bandung, Jurnal Muslim Heritage, Vol. 5, No. 2 (Desember, 2020), hlm. 388.
[8] M. Yahya Harahap, Op.Cit., hlm. 447-446