![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
Prosedur Berperkara | Layanan Informasi | Jadwal Sidang | SIPP | APM |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
SIWAS MA RI | e - Court | Sukamas | Pelita | Validasi Akta Cerai |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
siMUPLI | Pojok | Kotak Kemajuan | SIGOA-SKM | SIYANTIS |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
|
Cuti Tahunan | Izin Keluar Kantor | Apl Gugatan Mandiri | SURTI - SURVEI BADILAG |
Bismillahirrahmanirrahim
Shalat merupakan tiang Islam. Setiap muslim wajib menjalankan ibadah shalat 5 waktu dalam sehari semalam. Bahkan amalan yang pertama kali ditanyakan/ dihisab pada hari kiamat adalah ibadah shalat. Hal ini sesuai hadist Rasulullah ﷺ
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – ، قَالَ : قاَلَ رَسُولُ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – : (( إنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ العَبْدُ يَوْمَ القِيَامَةِ مِنْ عَمَلِهِ صَلاَتُهُ ، فَإنْ صَلُحَتْ ، فَقَدْ أفْلَحَ وأَنْجَحَ ، وَإنْ فَسَدَتْ ، فَقَدْ خَابَ وَخَسِرَ ، فَإِنِ انْتَقَصَ مِنْ فَرِيضَتِهِ شَيْءٌ ، قَالَ الرَّبُ – عَزَّ وَجَلَّ – : اُنْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ ، فَيُكَمَّلُ مِنْهَا مَا انْتَقَصَ مِنَ الفَرِيضَةِ ؟ ثُمَّ تَكُونُ سَائِرُ أعْمَالِهِ عَلَى هَذَا )) رَوَاهُ التِّرمِذِيُّ ، وَقَالَ : (( حَدِيثٌ حَسَنٌ ))
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya amal yang pertama kali dihisab pada seorang hamba pada hari kiamat adalah shalatnya. Maka, jika shalatnya baik, sungguh ia telah beruntung dan berhasil. Dan jika shalatnya rusak, sungguh ia telah gagal dan rugi. Jika berkurang sedikit dari shalat wajibnya, maka Allah Ta’ala berfirman, ‘Lihatlah apakah hamba-Ku memiliki shalat sunnah.’ Maka disempurnakanlah apa yang kurang dari shalat wajibnya. Kemudian begitu pula dengan seluruh amalnya.” (HR. Tirmidzi, ia mengatakan hadits tersebut hasan.) [HR. Tirmidzi, no. 413 dan An-Nasa’i, no. 466. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini shahih.]1
Namun keutamaan dalam menjalankan shalat adalah di awal waktu. Hendaknya kita selalu berusaha untuk selalu shalat di awal membiasakan diri shalat di awal waktu membentuk karakter kita menjadi disiplin. Sesuai dengan hadits yang menyatakan bahwa shalat di awal waktu itulah yang paling afdhol.
عَنْ أُمِّ فَرْوَةَ قَالَتْ سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَىُّ الأَعْمَالِ أَفْضَلُ قَالَ « الصَّلاَةُ فِى أَوَّلِ وَقْتِهَا »
Dari Ummu Farwah, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya, amalan apakah yang paling afdhol. Beliau pun menjawab, “Shalat di awal waktunya.” (HR. Abu Daud no. 426. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)2
In Syaa Allah kita akan menjadi pribadi yang selalu takut kepada Allah azza wa jalla, membuat kita mencintai Allah dan menghindarkan diri dari perbuatan-perbuatan yang dimurkai Allah. Menjaga shalat juga akan menjaga hubungan kita dengan Allah dengan selalu mengamalkan apa yang Allah perintahkan dan menjauhi apa yang Allah larang. Shalat tidak harus menunggu menjadi seseorang yang baik, namun melalui shalat in Syaa Allah kita akan menjadi baik. Karena Shalat dapat mencegah perbuatan keji.
Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ
“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar.” (QS. Al ‘Ankabut: 45).3
Seseorang yang baik shalat nya adalah orang-orang yang baik dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, disiplin dan in Syaa Allah bertanggung jawab atas pekerjaan yang menjadi kewajiban nya. Shalat di awal waktu akan menjadikan diri yang selalu tepat waktu baik dalam kehidupan di lingkungan tempat tinggal maupun di lingkungan kerja.
Sikap disiplin adalah rasa ketaatan dan kepatuhan terhadap nilai-nilai yang dipercaya atau peraturan yang menjadi tanggungjawab. Hal ini sejalan dengan ketaatan saat menjalankan Shalat. Dengan begitu maka marilah kita menjaga shalat kita dengan menjalankan nya di awal waktu agar kita membiasakan diri untuk selalu disiplin dalam kehidupan sehari-hari. (TUTIK HARTATIK)
1Muhammad Abduh Tuasikal, MSc, “Shalat Itu Yang Pertama Kali Akan Dihisab” Rumaysho, Desember 20, 2017 https://rumaysho.com/16963-shalat-itu-yang-pertama-kali-akan-dihisab.html/
2Muhammad Abduh Tuasikal, MSc, “Shalat Di Awal Waktu” Rumaysho, April 06, 2017, https://rumaysho.com/7141-shalat-di-awal-waktu.html/
3Muhammad Abduh Tuasikal, MSc, “Rajin Shalat Namun Masih Bermaksiat” Rumaysho, May 27, 2014, https://rumaysho.com/7691-rajin-shalat-namun-masih-bermaksiat.html/
Tujuan ideal dari sebuah perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal sebgaiman diamanatkan dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 yang memuat pengertian bahwa perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang baagia kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sehingga setiap perkawinan tentunya akan menimbulkan akibat hokum didalamnya.Menurut Sajuti Thalib perkawinan adalah perjanjian suci membentuk keluarga antara serang laki-laki dan seorang perempuan. Unsur perjanjian ini memperliatkan segi kesenjangan dari perkawinan serta menampakkannya pada masyarakat ramai. Sedangkan sebutan suci untuk pernyataan segi keagamaannya dari suatu perkawinan.1
Secara filosofis, Soemiyati menjelaskan bahwa salah satu dari perkawinan adalah memperoleh keturunan yang sah. Memperoleh anak dalam perkawinan bagi manusia mengandung dua segi kepentingan, yaitu kepentingan untuk diri sendiri dan kepentingan yang bersifat umum.2 Perceraian adalah melepaskan ikatan tali pernikahan yang sah menurut aturan agama Islam dan negara. Kasus perceraian yang terjadi semakin hari terus meningkat setiap tahunnya seiring dengan terjadinya perubahan zaman dan pergeseran nilai-nilai sosial yang berkembang ditengah masyarakat. Kondisi ekonomi yang tidak stabil menimbulkan gejolak di tengah masyarakat dan menjadi salah satu yang mempengaruhi tingginya angka perceraian di Pengadilan.
Menurut Soemiyati, jika terjadi perceraian dimana telah diperoleh keturunan dalam perkawinan itu, maka yang berhak mengasuh anak hasil perkawinan adalah ibu. Akan tetapi mengenai pembiayaan untuk pengidupan anak itu termasuk biaya pendidikan adalah menjadi tanggung jawab ayahnya. Berakhirnya pengasuhan adalah pada waktu anak itu sudah dapat ditanya kepada siapa dia akan ikut.3 Hilman Hadikusuma dalam bukunya juga menjelaskan bahwa bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak setelah putusnya perkawinan karena perceraian. Jika bapak dalam kenyataannya tidak dapat melaksanakan kewajibannya membiayai pemeliharaan dan pendidikan anak, maka pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul tanggung jawab membiayai pemeliharaan dan pendidikan anak itu.4
Memperhatikan penjelasan beberapa ahli hukum tersebut diatas maka dapat dipahami bahwa pasal 41 huruf a undang-undang nomor 1 tahun 1974 adalah wujud normative dari upaya Negara untuk melindungi hak-hak anak setelah tejadi perceraian dari kedua orang tuanya, berlandaskan fungsi Negara sebagai Negara hukum yang harus melindungi hak-hak warga Negaranya tanpa terkecuali. Meskipun pada prakteknya sering kali ketika telah diputuskan ada saja pihak yang tidak menepati kewajibannya dalam pembiayaan anak tersebut. Atas dasar lemahnya posisi anak-anak tersebut, maka UU No. 1 Tahun 1974 memberikan perlindungan terhadap hak-hak anak yang orang tuanya bercerai. Selain itu, diatur juga masalah upaya-upaya yang dapat dilakukan oleh anak/anak-anak yang orang tuanya bercerai dan tidak bertanggung jawab atau tidak mematuhi kewajiban yang diputuskan oleh pengadilan yang berkaitan dengan masalah pemberian hak-hak si anak. Upaya hukum yang dapat melindungi anak dari tindakan orang tua yang tidak bertanggung jawab sangat diperlukan dalam hal ini, jangan sampai anak-anak yang telah mengalami penderitaan akibat perceraian orang tua mereka juga mendapat perlakuan yang semena-mena dengan tidak dipenuhinya hak-hak yang seharusnya dapat mereka peroleh.
1 Sajuti Thalib,Hukum Kekeluargaan Negara,Universitas Indonesia Press, Jakarta,1982,hlm. 47
2 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan(UU. No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan), Liberty,Yogyakarta,1982, hlm. 13-14
3 Ibid
4 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat,Hukum Agama,Mandar Maju,Bandung,2007, hlm. 176.