Dalam Pengadilan Agama terdapat 2 perkara perceraian, yaitu cerai gugat dan cerai talak. Cerai talak adalah perceraian yang diajukan oleh suami, sedangkan cerai gugat adalah perceraian yang diajukan oleh isteri.[1]
Cerai gugat dan cerai talak diatur dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama. Lebih lanjut pengaturan mengenai Cerai talak terdapat dalam Pasal 66 sampai dengan Pasal 72 Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Dalam ketentuan tersebut, seorang suami yang hendak menceraikan istrinya mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talak.[2] Meskipun dalam perkara Cerai Talak menggunakan istilah permohonan, namun perkara ini digolongkan sebagai perkara contentius. Hal ini dikarenakan didalamnya mengandung unsur sengketa dan pemeriksaannya dilakukan dalam proses contradictoir.[3]
Setelah permohonan perkara cerai talak tersebut dikabulkan oleh Majelis Hakim dan memperoleh kekuatan hukum tetap, berdasarkan Pasal 70 ayat (3) Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Pengadilan menentukan hari sidang penyaksian ikrar talak, dengan memanggil suami dan istri atau wakilnya untuk menghadiri sidang tersebut. Ikrar talak adalah pengakuan dan sumpah, mengakhiri atau memutus hubungan/ikatan suami-istri atas kehendak suami dengan kata talak atau sejenisnya.[4]
Lantas apakah pengucapan ikrar talak oleh suami dapat dikuasakan? Dan bagaimanakah pengaturannya?
Terdapat ketentuan “Dalam sidang itu suami atau wakilnya yang diberi kuasa khusus dalam suatu akta otentik untuk mengucapkan ikrar talak” dalam Pasal 70 ayat (4) Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Hal ini menyebabkan secara tegas undang-undang memberikan hak bagi pihak pemohon untuk menggunakan kuasa dalam pengucapan ikrar talak. Namun pemberian kuasa pengucapan ikrar talak tidak cukup dengan surat kuasa khusus biasa, melainkan harus menggunakan surat kuasa istimewa yang berbentuk akta otentik. Akta autentik berarti akta yang (dibuat) dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu, ditempat dimana akta dibuatnya.[5] Pada prakteknya penggunaan kuasa istimewa dalam hal pengucapan ikrar talak biasanya berbentuk akta notaris maupun akta yang dibuat dihadapan panitera pengadilan. Di samping harus akta otentik, surat kuasa istimewa tersebut harus bersifat limitatif yaitu terbatas mengenai orang tertentu dan untuk perbuatan tertentu. Redaksionalnya harus secara tegas memberi kuasa untuk mengucapkan ikrar talak.[6]
Berdasarkan penjelasan di atas maka Pemohon cerai talak dapat mengkuasakan ikrar talak dengan menggunakan surat kuasa istimewa yang berbentuk akta otentik dan bersifat limitative.
[1] Muhhamad Ilham, Istilah-Istilah Penting Dalam Berpekara Cerai di Peradilan Agama, https://pa-serui.go.id/istilah-istilah-penting-dalam-berperkara-cerai-di-peradilan-agama/ diakses tanggal 2 Januari 2023
[2] Pasal 66 ayat (1) Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
[3] A. Rasyid Roihan. Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta: Rajawali, 1991, hlm .54-55
[4] PA Lubuk Pakam, Sidang Ikrar Talak Melalui Teleconference Antara Pengadilan Agama Ujung Tanjung dengan Pengadilan Agama Lubuk Pakam, https://badilag.mahkamahagung.go.id/seputar-peradilan-agama/berita-daerah/sidang-ikrar-talak-melalui-teleconference-antara-pengadilan-agama-ujung-tanjung-dengan-pengadilan-agama-lubuk-pakam diakses pada tanggal 2 Januari 2023.
[5] Pasal 1868 KUHPerdata
[6] M. Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan, dan Acara Peradilan Agama, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, hlm. 231.