Sidikalang- Selasa tanggal 4 Oktober 2022 Ketua Pengadilan Agama Sidikalang, bapak Mhd. Ghozali,S.H.I.,M.H beserta hakim Pengadilan Agama Sidikalang, ibu Berliana NasutionS.H.,M.H dan bapak Mulyadi Antori,S.H.I mengikuti zoom yang diadakan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang dilaksanakan secara daring melalui zoom meeting. Adapun tujuan dari kegiatan ini adalah sebagai bentuk tindak lanjut dari hasil pengawasan KPAI mengenai pemenuhan hak pengasuhan anak pada orang tua tunggal, berkonflik dan bercerai yang tela dilakukan pada bulan Juni yang lalu.
Acara dibuka langsung oleh Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia, bapak Dr. Suanto,MA. Tampak hadir dalam kegiatan ini Ketua Komis VIII DPR RI, Dr. H. Ashabul Kahfi,M.Ag yang juga memberikan kata sambutan dalam kegiatan ini. Dalam kesempatan ini beliau menyatakan sosialisasi seperti ini sangat penting untuk kedepannya agar dapat memilah apakah regulasi yang ada sekarang telah sesuai dalam memberikan perlindungan kepada anak akibat perceraian. Selain itu minimnya sosialisasi seperti berdampak pada minimnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap penelantaraan anak.
Dalam kegiatan hari ini hadir 3 narasumber yang memberikan materi terkait perlindungan anak. Narasumber pertama adalah Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia, ibu Rita Pranawati,MA yang dalam hal ini memaparkan Advokasi Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Anak : Pemenuhan Hak Anak Pada Pengasuhan Orang Tua Tunggal, Orang Tua Berkonflik dan Orang Tua Bercerai. Dari hasil pengawasan tersebut disimpulkan bahwa penyebab terbear orang tua yang sedang berkonflik adala karena adanya perselisihan terus menerus dan adanya masalah pihak ketiga. Dukungan sosail, psikologis dan ekonomi dari keluarga besar yang baik membuat sebagian besar orang tua berkonflik juga memiliki kondisi psikologis yang baik, walaupun tidak didukung dengan dukungan social, psikologis dan ekonomi yang baik pula dari keluarga besar pasangan. Orang tua berkonflik yang tinggal dengan anak cenderung masih memberikan akses bertemu dan berkomunikasi anak kepada pasangan walaupun pasangan mereka cenderung tidak memberikan nafkah kepada anak tersebut.
Narasumber kedua adalah Direktur Pembinaan Administratif Peradilan Agama Mahkamah Agung RI, ibu Dr.Dra. Nur Djannah Syaf,S.H.,M.H yang dalam hal ini menyampaikan beberapa hal terkait hak-hak anak korban perceraian yang antara lain hak untuk hidup layak, hak atas identitas dan hak atas pengembangan diri. Lebih lanjut beliau memaparkan kebijakan strategis Ditjen Badilag mengenai jaminan perlindungan hak-hak perempuan dan anak yang telah dituangkan SK Dirjen Badilag Nomor 1959 tahun 2021. Kebijakan pemenuhan hak perempuan dan anak ini terdiri dari beberapa bidara yakni bidang administrasi seperti ketersediaan informasi terkait hak perempuan dan anak pasca perceraian, ketersediaan blanko gugatan yang disertai hak perempuan dan anak pasca perceraian, dalam bidang yustisial mencakup pembinaan hakim terkait implementasi Perma nomor 3 tahun 2017, pembinaan oleh hakim agung, penyediaan blanko putusan yang memuat hak-hak perempuan dan anak pasca perceraian serta penyediaan metode penghitungan hak perempuan dan anak pasca perceraian. Terakhir dibidang pelaksanaan putusan menyangkut penyerdehanaan eksekusi dan kerjasama antarlembaga.
Beliau juga memaparkan problematika yang acap kali muncul dalam eksekusi putusan terkait hak-hak perempuan dan anak adalah karena biaya eksekusi yang mahal bahkan mungkin setara atau lebih tinggi dari nilai objek yang dieksekusi mengakibatkan pihak perempuan enggan memohon eksekusi ditambah lagi prosedur yang dianggap rumit sehingga hak-hak perempuan dan anak akibat perceraian tidak terpenuhi.
Narasumber ketiga yakni Direktur Keluarga, Perempuan, Anak, Pemuda, dan Olahraga Kementerian PPN/Bappenas, ibu Woro Srihastuti Sulistyaningrum,S.T.,MIDS yang sala satu materinya memaparkan mengenai risiko dan dampak perceraian pada perempuan dan anak , yakni terkait kerentanan ekonomi keluarga, risiko pengasuhan terhadap anak, kesehatan jiwa bagi perempuan dan anak, anak sebagai objek perselisihan , risiko mengalami tindak kekerasan dan terakhir terkait interaksi social. Banyak hal yang harus diperhatikan dalam peningkatan hak perempuan dan anak dalam perkara perceraian. Hal itu berkaitan dengan pada saat proses perceraian dimana hakim harus memiliki perspektif gender dalam menilai kasus perceraian dan diperlukan pula pendampingan kepada anak pada saat proses perceraian sedang berlangsung. Dari segi pasca perceraian terjadi beliau menyatakan bahwa perlu disusun isntrumen dan mekanisme pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pengadilan, penegakan sanksi dan adanya pendampingan dan penyediaan layanan bagi perempuan dan anak. Semoga dengan ini pemenuhan hak-hak perempuan dan anak dapat terpenuhi dan dapat meningkat persentase pemenuhannya dan semakin banyak perempuan dan anak yang bisa memperoleh haknya sebagaimana mestinya. (AS)