![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
Prosedur Berperkara | Layanan Informasi | Jadwal Sidang | SIPP | APM |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
SIWAS MA RI | e - Court | Sukamas | Pelita | Validasi Akta Cerai |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
siMUPLI | Pojok | Kotak Kemajuan | SIGOA-SKM | SIYANTIS |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
|
Cuti Tahunan | Izin Keluar Kantor | Apl Gugatan Mandiri | SURTI - SURVEI BADILAG |
Bismillahirramanirrahim
Korupsi adalah tindakan yang mengambil sesuatu yang bukan hak milik pribadi. Mengambil hak orang lain merupakan perbuatan tercela dan Haram hukumnya dalam islam. Hal ini sesuai dengan hadits ketika berhaji wada’, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ
“Sesungguhnya darah, harta dan kehormatan saudara kalian itu haram bagi kalian.” (HR. Bukhari no. 1739 dan Muslim no. 1679).[1]
Dalam peradilan, pelaku yang melakukan tindakan korupsi akan dikenai hukum pidana, terdapat pada undang-undang nomor 31 Tahun 1999 tentang PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
Pasal 2
Pasal 3
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).[2]
Pada UU tersebut sudah jelas bahwa setiap orang yang mencari keuntungan/ memperkaya diri baik secara melawan hukum maupun menyalahgunakan wewenang, menggunakan sarana, jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan negara adalah tindak pidana.
Memperoleh harta dari jalan yang haram dalam hukum islam seperti Riba dan merampas hak orang lain, kecuali dengan jalan yang baik seperti perniagaan sesuai syari’at Islam. Hal ini sesuai dengan Firman Allah Subhana Wa Ta’ala
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
” Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.” (QS. An Nisa’: 29)[3]
Semua yang kita dapat peroleh di dunia akan dipertanggungjawabkan, bagaimana cara mendapatkan dan untuk apa kita pergunakan. Manusia tidak akan lepas dari pengawasan Allah Azza wa Jalla. Kita mungkin berpikir bahwa perbuatan mengambil hak orang lain ketika tidak ada orang lain yang mengetahui semua akan baik-baik saja. Namun hukum Allah benar adanya pada hari pembalasan.
يَوْمَئِذٍ تُعْرَضُونَ لَا تَخْفَىٰ مِنْكُمْ خَافِيَةٌ
“Pada hari itu kamu dihadapkan (kepada Tuhanmu), tiada sesuatupun dari keadaanmu yang tersembunyi (bagi Allah).” (QS. Al-Haqqah: 18)[4]
Harta yang haram tidaklah mendapatkan keberkahan dan justru mendapatkan azab Allah Subhana Wa Ta’ala. Dan ingat rezeki yang halal walau sedikit itu pasti lebih berkah. Abul ‘Abbas Ahmad bin ‘Abdul Halim bin Taimiyyah Al-Harrani (661-728 H) rahimahullah pernah berkata,
وَالْقَلِيلُ مِنْ الْحَلَالِ يُبَارَكُ فِيهِ وَالْحَرَامُ الْكَثِيرُ يَذْهَبُ وَيَمْحَقُهُ اللَّهُ تَعَالَى
“Sedikit dari yang halal itu lebih bawa berkah di dalamnya. Sedangkan yang haram yang jumlahnya banyak hanya cepat hilang dan Allah akan menghancurkannya.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 28:646)[5]
Dalam mencari rezeki, kebanyakan kita mementingkan hasilnya, namun tidak peduli dengan halal dan haramnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jauh-jauh hari sudah mengatakan,
لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لاَ يُبَالِى الْمَرْءُ بِمَا أَخَذَ الْمَالَ ، أَمِنْ حَلاَلٍ أَمْ مِنْ حَرَامٍ
“Akan datang suatu zaman di mana manusia tidak lagi peduli dari mana mereka mendapatkan harta, apakah dari usaha yang halal atau yang haram.” (HR. Bukhari no. 2083, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu).[6]
Mengambil hak orang lain merupakan sebuah bentuk Kedzaliman. Adapun dalil dari As Sunnah, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
قال الله تبارك وتعالى: يَا عِبَادِي إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِي، وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا، فَلَا تَظَالَمُوا
Allah Tabaaraka wa ta’ala berfirman: ‘wahai hambaku, sesungguhnya aku haramkan kezaliman atas Diriku, dan aku haramkan juga kezaliman bagi kalian, maka janganlah saling berbuat zalim’” (HR. Muslim no. 2577).[7]
Menghindari diri dari yang harta yang haram, membuat jiwa lebih tenang dan hidup lebih berkah. Selain itu hal terpenting lainnya adalah Keridhoan Allah Azza wa Jalla. Semoga kita semua dapat berlaku jujur meski banyak kesempatan melakukan tindakan korupsi yang ada dihadapan kita.
[1] Muhammad Abduh Tuasikal, MSc, "Merampas Harta Orang Lain”, Rumaysho, April 2, 2014 https://rumaysho.com/7108-kaedah-fikih-15-merampas-harta-orang-lain.html/ Diakses 20 Desember 2022
[2] UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
[3] Muhammad Abduh Tuasikal, MSc, Op. Cit
[4] Muhammad Abduh Tuasikal, MSc, “Syarhus sunnah: Hisab dan Timbangan Pada Hari Kiamat”, Rumaysho, October 15, 2019, https://rumaysho.com/22090-syarhus-sunnah-hisab-dan-timbangan-pada-hari-kiamat.html/ Diakses 20 Desember 2022
[5] Muhammad Abduh Tuasikal, MSc, “Tujuh Dampak Harta Haram” Rumaysho, November 16, 2019, https://rumaysho.com/22549-tujuh-dampak-harta-haram.html/ Diakses 20 Desember 2022
[6] Ibid
[7]Yulian Purnama S.Kom, “Janganlah Berbuat Zalim”, Muslim.or.id, October 6, 2021 https://muslim.or.id/53105-janganlah-berbuat-zalim.html/ Diakses 20 Desember 2022
Bismillahirrahmanirrahim
Dalam proses penyelesaian sengketa perdata pembuktian merupakan tahapan yang sangat krusial. Pasalnya pembuktian memberikan dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan oleh para pihak.[1] Dalam hal ini, pembuktian dibebankan kepada pihak baik yang mempunyai sesuatu hak ataupun pihak yang mengemukakan suatu peristiwa, maka pihak tersebut harus membuktikan adanya hak atau peristiwa itu. Hal tersebut dikarenakan melekatnya asas “actori incumbit probatio” dalam hukum acara perdata.[2] Berlandaskan dengan asas tersebut maka Penggugat harus dapat membuktikan segala dalil dalam Surat Gugatannya, dan juga Tergugat diwajibkan untuk membuktikan dalil-dalil bantahannya. Apabila Penggugat tidak dapat membuktikannya maka Tergugat harus dibebaskan dari tuntutan tersebut, dan juga sebaliknya.
Terdapat 5 (lima) macam alat bukti yang dapat diajukan para pihak dalam proses penyelesaian perkara perdata, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 164 HIR, yaitu:
Alat bukti surat dan saksi merupakan alat bukti langsung karena diajukan secara fisik oleh pihak yang berkepentingan di depan persidangan, sedangkan persangkaan, pengakuan, dan sumpah merupakan alat bukti tidak langsung karena diajukan tidak secara fisik.[3]
Alat bukti tulisan ditempatkan dalam urutan pertama dan memegang peran penting pada tahap pembuktian. Hal ini disebabkan oleh pembuktian dalam Perkara Perdata adalah upaya untuk memperoleh kebenaran formil (formeel waarheid). Lebih lanjut, kebenaran formil dapat diartikan sebagai kebenaran yang didapatkan berdasarkan bukti-bukti formal yang diajukan ke dalam persidangan yang kebenarannya hanya dibuktikan berdasarkan bukti-bukti yang diajukan.[4] Upaya mencari kebenaran formil menyebabkan hakim hanya mengabulkan apa yang digugat serta dilarang mengabulkan lebih dari apa yang dimintakan dalam petitum.[5]
Merujuk pada amanat Pasal 1888 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, kekuatan pembuktian suatu bukti tulisan adalah pada akta aslinya. Lantas apabila para pihak hanya dapat menunjukkan salinan atas alat bukti surat, bagaimanakah keabsahan alat bukti tersebut?
Apabila akta yang asli tidak ada lagi (telah hilang) maka beberapa salinan berikut ini dipergunakan sebagai alat bukti, yaitu:
1) salinan pertama,
2) salinan yang dibuat atas perintah hakim dan dihadiri para pihak, atau setelah para pihak tersebut dipanggil secara sah,
3) salinan yang tanpa perantaraan hakim atau di luar persetujuan para pihak, dan setelah salinan pertama dikeluarkan, dibuat oleh notaris, oleh pegawai-pegawai yang dalam jabatannya menyimpan akta asli dan berwenang memberikan salinan.
Selain ketiga salinan sebagaimana disebutkan di atas, maka salinan hanya berlaku sebagai permulaan pembuktian dan kekuatan pembuktiannya diserahkan kepada hakim yang menangani perkara (Pasal 302 Rbg. dan Pasal 1889 KUHPerdata)[6]
Selanjutnya dalam praktik sering kali ditemukan para pihak yang mengajukan alat bukti tulisan berbentuk fotokopi. Menurut Teguh Samudera, suatu salinan, fotokopi, dan kutipan dapat mempunyai nilai kekuatan pembuktian sepanjang kutipan, salinan, atau fotokopi itu sesuai dengan aslinya.[7] Hal tersebut sejalan dengan Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung Nomor 701 K/Sip/1974 tanggal 14 April 1976 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2191 K/Pdt/2000 tanggal 14 Maret 2001 yang pada intinya mengatakan dalam mengajukan fotokopi surat-surat sebagai alat bukti di dalam persidangan gugatan perdata di Pengadilan harus dinyatakan telah sesuai (dicocokkan) dengan aslinya. Bila tidak demikian, maka bukti surat berupa fotokopi tersebut merupakan alat bukti yang tidak sah dalam persidangan. Namun, apabila fotokopi yang diajukan sebagai alat bukti maka fotokopi tersebut sah sebagai alat bukti.[8]
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa keabsahan alat bukti tulisan berbentuk fotokopi dapat dinilai dari:
[1] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty, Hlm. 109
[2] Pasal 163 HIR
[3] Yahya Harahap, 2016, Hukum Acara Perdata: Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Jakarta: Sinar Grafika, Hlm. 558
[4] Philipus H. Sitepu, “Syarat Materiil dan Formil Akta Notaris, Apa Saja?”, 5 Juli 2021, https://www.hukumonline.com/klinik/a/syarat-materiil-dan-formil-akta-notaris--apa-saja-lt601406afbaaa9
[5] Pasal 178 HIR
[6] Subekti, 2011, Hukum Pembuktian, Jakarta: PT Pradnya Pramita, Hlm. 36.
[7] Teguh Samudera, 1992, Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata, Bandung: Alumni, Hlm. 57.
[8] Putusan MA no 1937/K/ Pdt/1985