Bismillahirrahmanirrahim

 

Dalam proses penyelesaian sengketa perdata pembuktian merupakan tahapan yang sangat krusial. Pasalnya pembuktian memberikan dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan oleh para pihak.[1] Dalam hal ini, pembuktian dibebankan kepada pihak baik yang mempunyai sesuatu hak ataupun pihak yang mengemukakan suatu peristiwa, maka pihak tersebut harus membuktikan adanya hak atau peristiwa itu. Hal tersebut dikarenakan melekatnya asas “actori incumbit probatio” dalam hukum acara perdata.[2] Berlandaskan dengan asas tersebut maka Penggugat harus dapat membuktikan segala dalil dalam Surat Gugatannya, dan juga Tergugat diwajibkan untuk membuktikan dalil-dalil bantahannya. Apabila Penggugat tidak dapat membuktikannya maka Tergugat harus dibebaskan dari tuntutan tersebut, dan juga sebaliknya.

 Terdapat 5 (lima) macam alat bukti yang dapat diajukan para pihak dalam proses penyelesaian perkara perdata, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 164 HIR, yaitu:

  1. Alat bukti surat
  2. Bukti Saksi
  3. Persangkaan
  4. Pengakuan
  5. Sumpah

Alat bukti surat dan saksi merupakan alat bukti langsung karena diajukan secara fisik oleh pihak yang berkepentingan di depan persidangan, sedangkan persangkaan, pengakuan, dan sumpah merupakan alat bukti tidak langsung karena diajukan tidak secara fisik.[3]

 

 

Alat bukti tulisan ditempatkan dalam urutan pertama dan memegang peran penting pada tahap pembuktian. Hal ini disebabkan oleh pembuktian dalam Perkara Perdata adalah upaya untuk memperoleh kebenaran formil (formeel waarheid). Lebih lanjut, kebenaran formil dapat diartikan sebagai kebenaran yang didapatkan berdasarkan bukti-bukti formal yang diajukan ke dalam persidangan yang kebenarannya hanya dibuktikan berdasarkan bukti-bukti yang diajukan.[4] Upaya mencari kebenaran formil menyebabkan hakim hanya mengabulkan apa yang digugat serta dilarang mengabulkan lebih dari apa yang dimintakan dalam petitum.[5]

 

Merujuk pada amanat Pasal 1888 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, kekuatan pembuktian suatu bukti tulisan adalah pada akta aslinya. Lantas apabila para pihak hanya dapat menunjukkan salinan atas alat bukti surat, bagaimanakah keabsahan alat bukti tersebut?

 

Apabila akta yang asli tidak ada lagi (telah hilang) maka beberapa salinan berikut ini dipergunakan sebagai alat bukti, yaitu:

1) salinan pertama,

2) salinan yang dibuat atas perintah hakim dan dihadiri para pihak, atau setelah para pihak tersebut dipanggil secara sah,

3) salinan yang tanpa perantaraan hakim atau di luar persetujuan para pihak, dan setelah salinan pertama dikeluarkan, dibuat oleh notaris, oleh pegawai-pegawai yang dalam jabatannya menyimpan akta asli dan berwenang memberikan salinan.

Selain ketiga salinan sebagaimana disebutkan di atas, maka salinan hanya berlaku sebagai permulaan pembuktian dan kekuatan pembuktiannya diserahkan kepada hakim yang menangani perkara (Pasal 302 Rbg. dan Pasal 1889 KUHPerdata)[6]

 Selanjutnya dalam praktik sering kali ditemukan para pihak yang mengajukan alat bukti tulisan berbentuk fotokopi. Menurut Teguh Samudera, suatu salinan, fotokopi, dan kutipan dapat mempunyai nilai kekuatan pembuktian sepanjang kutipan, salinan, atau fotokopi itu sesuai dengan aslinya.[7] Hal tersebut sejalan dengan Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung Nomor 701 K/Sip/1974 tanggal 14 April 1976 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2191 K/Pdt/2000 tanggal 14 Maret 2001 yang pada intinya mengatakan dalam mengajukan fotokopi surat-surat sebagai alat bukti di dalam persidangan gugatan perdata di Pengadilan harus dinyatakan telah sesuai (dicocokkan) dengan aslinya. Bila tidak demikian, maka bukti surat berupa fotokopi tersebut merupakan alat bukti yang tidak sah dalam persidangan. Namun, apabila fotokopi yang diajukan sebagai alat bukti maka fotokopi tersebut sah sebagai alat bukti.[8]

 Berdasarkan uraian di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa keabsahan alat bukti tulisan berbentuk fotokopi dapat dinilai dari:

  1. Dikatakan sah apabila alat bukti tulisan berbentuk fotokopi tersebut sama dengan aslinya. Hal ini dilakukan dengan cara menunjukkan alat bukti asli tersebut pada persidangan
  2. Apabila fotokopi itu diakui dan disetujui pihak lawan dianggap sah meskipun tidak ditunjukkan aslinya dipersidangan (665)

 

 

 

[1] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty, Hlm. 109

[2] Pasal 163 HIR

[3] Yahya Harahap, 2016, Hukum Acara Perdata: Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Jakarta: Sinar Grafika, Hlm. 558

[4] Philipus H. Sitepu, “Syarat Materiil dan Formil Akta Notaris, Apa Saja?”, 5 Juli 2021, https://www.hukumonline.com/klinik/a/syarat-materiil-dan-formil-akta-notaris--apa-saja-lt601406afbaaa9

[5] Pasal 178 HIR

[6] Subekti, 2011, Hukum Pembuktian, Jakarta: PT Pradnya Pramita, Hlm. 36.

[7] Teguh Samudera, 1992, Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata, Bandung: Alumni, Hlm. 57.

[8] Putusan MA no 1937/K/ Pdt/1985

Media Sosial

Search

Survey Kepuasan Masyarakat (SUKAMAS)

Statistik Website

4788585
Hari ini
Minggu ini
Bulan ini
TOTAL
3165
10369
235783
4788585

0.75%
22.77%
0.20%
0.05%
0.01%
76.22%

Your IP:18.97.9.168

Jam Pelayanan

JAM KERJA
Senin s/d Kamis
Jum'at
08.00 - 16.30
08.00 - 17.00
ISTIRAHAT
Senin s/d Kamis
Jum'at
12.00 - 13.00
12.00 - 13.30
HARI TUTUP KANTOR
Sabtu s/d Minggu / Hari Besar

  

Jadwal Sidang

  • SELAMAT_DAN_SUKSES_Hamid_Pulungan.png
  • SELAMAT_DAN_SUKSES_Zulkifli_Yus.png
  • TURUT_DUKA_CITA_Pak_Shobirin.png